Tuesday, May 29, 2012

Not Just Saying

Banyak orang berlomba mengutarakan rasa, menyatakan cinta, sayang dan hal-hal muluk serba dongeng itu; klasifikasi di luar seks. Padahal banyak sekali hal yang bisa dilakukan untuk membuktikan.

Showing, not just saying.

Bilang cinta, bilang mengerti tapi tidak tahu bagaimana membuat senang, bagaimana membuat nyaman, bagaimana membuat puas. Bahkan hal paling sederhana bertolak belakang dengan kenyataan, di saat keberadaan kita tidak lagi membawa rasa senang dan nyaman, kita tetap berusaha mati-matian mempertahankan hubungan.

Padahal kalau saja kita mau percaya dengan, "kalau jodoh tidak kemana," bisa jadi orangnya tepat, waktunya yang salah. Dan langkahnya maupun benang hubungan sudah terlalu ngejelimet untuk dijalankan saat ini. Dibutuhkan penyetelan ulang, menyamakan kedudukan, dan bahkan menghapus segala noda yang ada di kaca.

Cinta dibuktikan juga bukan dengan segala fasilitas yang bergelimpangan dan just a click away to enjoy. Cinta baru teruji keabsahannya saat kita polos, bukan siapa-siapa, bukan bisa apa, bukan punya apa, bukan memfasilitasi apa dan siapa. Kita yang hanya "perduli pada seseorang dengan cara yang paling jujur."

Will you still there when I'm nothing?
Will you still there if I can't provide anything?
Will you still there if I don't have this kind of patience limit?

Will you still there when I don't have anyone?
Will you?


Well, maybe we can't play that if if if game now. 
We will see.


Sunday, March 11, 2012

Setelah Itu Lalu Apa?

Mengetahui itu mudah,

yang paling sulit?
Menyimpan informasi itu.

Pada saat orang tidak bertanya, tidak berbicara,
bukan berarti mereka tidak menanti, tidak ingin tahu.

Itulah kenapa jadi intel paling susah.
Bukan mendapatkan informasi yang sulit,
tapi diam dan seakan tidak tahu,
itu bagian yang paling sulit.

Sunday, March 04, 2012

Tidak Bisa Vs Tidak Mau

Masa sih gak bisa? Gak mau kali...

Menohok ya mendengar kalimat itu? Kita, ya kita, sering bersembunyi dari peluru yang terang-terangan menunjukkan kita bersalah. Persoalannya sederhana, kita gak mau nolak. Bukannya gak bisa nolak.

Black and White

Kalau dunia sesederhana dua warna itu, hanya ada hitam dan putih, hanya ada benar dan salah, semua akan sangat mudah. Dengan kebenenaran yang tidak selalu mutlak, paling tidak setengah kaki tidak berada di kutub yang berbeda. Korupsi : benar korupsi versus tidak korupsi. Membunuh : benar sampai mati versus tidak sampai mati. Mencuri : benar direncakan versus tidak direncanakan. Menghemat waktu. Kita pun dengan gamblang bisa membedakan, oh ternyata kita cuma gak bisa nolak.

Gray

Lalu bagaimana dengan warna hitam dengan percikan putih, atau si putih dengan noda hitam, bergumul berdua membentuk wilayah ragu-ragu? Salah dan benar sepertinya urusan belakangan.

Semuanya dirangkum menjadi satu hal yang sederhana :

hal itu adalah soal kecil,
sayangnya hal kecil itu yang jadi kebutuhanmu.

Like I said...
if there's another color besides black and white,
is it that important, for you to do unnecessary thing?

You, me, us, them..
yea, and so on.

Saturday, March 03, 2012

Mengeja Kebahagiaan

Kebahagiaan itu relatif

Bahagiamu belum tentu bahagiaku. Apa yang terlihat baik, diamini baik, dianggap baik oleh sejuta umat dan diakui sebagai pandangan mayoritas, belum tentu yang baik untuk tiap pribadi. Demikian pula dengan kebahagiaan.

Manusia tidak akan pernah bahagia berada dimanapun, bersama siapapun, selama dirinya menginginkan berada di tempat lain, bersama orang lain. Semewah apapun tempatnya, seramai apapun mereka yang menemaninya.

Bahagia seorang nelayan bisa sebatas jumlah ikan tangkapan saat kembali ke darat, cukup untuk menghidupi keluarganya hari itu. Bahagia seorang penari bisa sebatas tepuk tangan para penonton yang datang untuk melihat pertunjukan bakatnya di atas panggung. Bahagia seorang pejabat bisa sebatas jam kerja yang minim, penghasilan yang maksimal, kesejahteraan bawahan yang rata-rata air; bisa jadi dia penganut paham efisien. Usaha minimal hasil maksimal, perduli setan dengan yang lain.

Dirumuskan, bahagia itu relatif dan beda takarannya tiap pribadi.

Kebahagiaan itu hak pribadi

Manusia dengan pemikirannya, bisa kita tilik dari omongan, perilaku dan pencitraan. Tapi urusan hati, yang tahu hanya dirinya sendiri dan sang pencipta. Pada saat kita mulai memakai takaran kita untuk menakar kebahagiaan orang lain dan menerapkan kalimat sakti "harusnya...dan harusnya dia..." maka kacaulah sudah. Kita telah merampas kemerdekaan seseorang berbahagia dengan caranya sendiri.

Siapapun orangnya, mungkin karena kita hidup lebih lama kita berfikir kita lebih mengerti, mengetahui, banyak makan asam garam dan sebagainya. Itu betul, tapi kembali lagi akan kebahagiaan sebagai hak pribadi seseorang. Hanya diri sendiri yang bisa menentukan ingin berbahagia atau tidak, bukan orang lain.

It's a like a friend's quote : when I'm single I'm happy, when I'm with my couple it's gotta be double happiness for me.

Yang intinya bila merepotkan, tidak membahagiakan, tidak mensejahterakan, saatnya berfikir ulang akan kegunaan pasangan/rekan kerja/keluarga/bos/anak buah atau siapapun itu yang ada di samping kita.

Bahkan di pagi hari, saat kita terbangun dan di luar hujan lebat, leher salah posisi tidur, sinusitis kumat dan menerima kabar buruk apapun itu, kita bisa menentukan untuk menjalani hidup hari itu dengan perasaan yang gembira. Tidak bisa? Start with a smile. Untuk tersenyum dibutuhkan otot bergerak lebih sedikit dibandingkan dengan cemburut. And believe it or not, senyum menghasilkan hormon yang akan membuat kita lebih gembira.

Kebahagiaan diri sendiri lebih penting

Nah, jangan buru-buru berfikiran pendek terhadap sub judul barusan. Saat kita berbahagia (menjadi diri sendiri) kita berpeluang lebih besar untuk membahagiakan orang lain. Bagaimana kita bisa berbagi kalau kita sendiri berkekurangan?

Ada teman yang hobinya menuangkan masalahnya kepada kita tanpa bertanya, bagaimana kabarmu hari ini? Apakah kalau aku curhat, harimu akan menjadi rusak? Adakah kau sendiri bermasalah dan ingin berbagi hari ini? Nah, untuk orang semacam inilah energi kita harus selalu penuh. Kita harus berbahagia dulu. Baru bisa membahagiakan orang lain.

Asalkan, bahagianya kita tidak merusak kebahagiaan orang lain. Asalkan sang penumpang tahu betul terkadang kita sebagai pengemudi bus bisa ngantuk, ngaco, dan begitu menikmati hidup. Istilahnya, resiko ditanggung masing-masing orang.

Kebahagiaan tidak sebatas bersyukur

Bersyukur adalah cara kilat untuk merasa bahagia, ya itu memang betul. Tapi dengan terus bersyukur dan tak berani bermimpi, kita telah membatasi diri kita sendiri. Mungkin kita tidak percaya bahwa kita dapat mencapai semua mimpi yang kita cita-citakan, tapi Dia, Tuhan sang pencipta selalu memampukan orang-orang yang terpilih.

Beranilah bermimpi. Jadilah besar, dan percayalah bahwa satu-satunya batas adalah waktu. Kita bisa menjadi apapun yang kita mau, sayangnya ada pembatasan usia tertentu untuk menyulap diri kita ke dalam berbagai profesi seperti jadi pilot, jadi penari, jadi model, tapi di luar itu..tidak ada yang mustahil.

Bersyukurlah dan terus naikkan bar cita-cita kita beberapa depa lebih tinggi. Hidup dengan tujuan, bahagia yang spesifik.

Bahagia adalah sekarang

Saya akan bahagia saat saya turun 5 kg, saya akan bahagia saat saya berhenti merokok, saya akan bahagia saat saya lebih putih, lebih kaya, lebih sering beribadah, lebih sukses.

Boleh saja, itu sah. Tapi kenapa harus menunggu semua itu terjadi untuk merasa bahagia? Berbahagialah dan itu akan memudahkan jalan kita menuju apapun yang kita inginkan. It takes one to know one. Dibutuhkan aura positif untuk menarik berbagai macam hal yang positif.

We hold the key of our own happiness,
realize that and be happy.

Saturday, February 25, 2012

Letting Go and Stay Healthy

Psikosomatis atau somatisasi adalah gangguan psikis yang tampil dalam bentuk gejala-gejala fisik. Dengan kata lain, penyakit tersebut disebabkan oleh program pikiran negatif atau masalah emosi seperti stres, depresi, kecewa, kecemasan, rasa berdosa dan emosi negatif lainnya.

Dalam suatu penelitian terbukti, penyakit-penyakit kecil muncul akibat gangguan psikis tersebut, seperti penyakit magh, eksim, asma. Akan tetapi dampak jangka panjang atas terbiasanya kita mencandu pikiran negatif tersebut, adalah suatu penyakit yang dinilai sangat berbahaya, yaitu kanker!

Kanker disebabkan oleh faktor keturunan, radikal bebas, lingkungan, makanan yang mengandung bahan kimia, virus, infeksi, faktor perilaku, gangguan keseimbangan hormonal, dan betul, yang paling membuat kita mengerutkan kening...faktor kejiwaan emosional.

Stres yang berat dapat mengakibatkan ganggung keseimbangan seluluer tubuh. Bahkan keadaan yang tegang terus menerus dapat mempengaruhi sel, dimana sel jadi hiperaktif dan berubah sifat menjadi ganas sehingga menyebabkan kanker. Istilah stres termasuk bahasa keren, bahasa yang orang biasa tak mau akui adalah lu-ka ba-tin.

Berapa banyak dari kita yang suka mengungkapkan kekecewaan dengan makian? Dengan bersikap kasar sesekali tanda tidak setuju, atau bahkan secara frontal melawan? Mungkin sedikit. Karena budaya timur menganggap hal tersebut tidak baik, terutama pada orang tua, janganlah melawan. Ini adalah salah satu kebiasaan yang cari penyakit.

Banyak orang yang tidak bisa mengungkapkan emosi negatif mereka menelannya begitu saja. Tapi tidak berhenti sampai disana, mereka membatin. Harusnya gak gini ya, harusnya kan saya tidak digituin, kok dia....yang membatin seperti itulah yang berpeluang terbesar untuk menerima hadiah jackpot, penyakit kanker.

Hal ini tidak mau diakui oleh mereka yang mengidap penyakit kanker. Kenapa? Karena mereka sudah terbiasa hidup dengan sopan, tidak mau berbagi kekecewaan, dan yang paling parah, tidak melepas hal-hal yang sudah terjadi yang tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan.

Mereka yang betul-betul sakit, adalah mereka yang tidak mengakui bahwa mereka sakit. Semakin jauhlah mereka dari penyembuhan. Jadi, siapa bilang memaki dan meluapkan emosi itu tidak baik? Pertolongan pertama pada kesedihan dan kekecewaan bukanlah cokelat, melainkan telinga untuk mendengar dan pundak untuk berbagi beban.

@ room, recollecting happines, 24th Feb 2012

Thursday, February 23, 2012

Remington & Colt

Ingatan seperti selongsong peluru dalam sebuah pistol. Kita memilih memfungsikan ingatan tergantung karakter kita. Tubuh, indera, yang dipengaruhi oleh otak kita, mengingat sejauh mana otak kita memberi sinyal.

Ada yang menjadikan neuron otaknya seperti Derringers, pistol yang digunakan oleh John Wilkes Booth untuk membunuh Abraham Lincoln. Satu barrel untuk satu tujuan, tidak ada kesempatan lain. Put all the bets.

Gagal dalam suatu aksi, akan menimbulkan frustasi. Ingatan bercokol hanya pada detik-detik kegagalan. Membuat kita lebih terfokus dimanakah letak kesalahan kita, betapa pentingnya hal itu, memang hal ini tidak mudah.

Makanya ada juga yang menyediakan rencana cadangan bila rencana A gagal, ditindaklanjuti dengan rencana B, itulah bagaimana Revolving pistol digunakan. Tidak perlu khawatir, bahkan polisi menggunakannya. Dengan pengaman pelatuk, dan keenam barrel-nya, jarang ada rentetan aksi yang gagal.

Sejauh ini rencana cadangan berhasil untuk mereka yang bersiap-siap gagal karena ketidakyakinan yang terpusat pada diri sendiri. Ingatan akan kegagalan, yang mungkin tiga sampai empat kali, dihibur oleh kesuksesan tembakan kelima dan keenam. Tepat sasaran! Yang penting hasil akhir.

Ingatan tergantikan; proyek yang kacau, deadline yang tak tercapai, keluarga yang berantakan, hubungan yang tidak sehat, semua tergeser.

Kita semua bisa memilih, tetapi bagaimana dengan probabilitas saat mencurahkan fokus dan usaha seratus persen, kita tidak bersiap untuk gagal? Kebulatan sikap semacam itu yang menjadikan kita pemenang. Bahkan ketika kita kalah, mental kita tetap bisa menjadikan kita juara.

Mungkin tidak untuk pertandingan yang satu itu, tapi untuk menjadikan kita juara dalam menjalani hidup, mengalahkan keterpurukan diri, bahwa kita adalah manusia yang pantas menentukan diri kita sendiri.

@ room, 23 Februari 2012


Wednesday, February 22, 2012

False Alarm dan Produk Ibukota

Seringkali kita menghindar bila bertemu orang gila, di tengah jalan atau bahkan saat mereka melipir di pinggir dan berdiam di sudut. Ada semacam alarm di otak kita yang mengatakan, "Hati-hati! Yang satu ini berbeda dan patut diwaspadai. Mereka gila!" suatu false alarm yang hanya bikin repot.

Pernah dengar orang gila membunuh? Mabok lalu menabrak belasan orang karena black out? Giting lalu tertidur saat mengemudikan bus? Memperkosa ramai-ramai di angkot?

Kalaupun ada orang gila yang membunuh, hitungannya sedikit sekali. Nyaris ti-dak ada.

Pada saat si gila berjenis kelamin laki-laki, dalam keadaan bugil dia tidak akan turn on dan ngaceng melihat bubaran SPG saat makan siang atau sepulang kantor. Dalam dunia mereka, tidak ada pemaknaan lebih di rok ketat yang membungkus pantat seadanya itu.

Mereka gila, tapi tidak opportunis dan serakah. Mereka bisa jadi berlarian, bicara dengan siapa saja yang mereka anggap ada di sebelah mereka (padahal hanya ada angin), atau hanya sekedar kasak kusuk. They live in their own bubbles. Tapi paling tidak mereka jujur dalam kegilaan mereka. Gejala gila pun mereka tunjukkan, lalu hidup konsisten dengan cara-cara seperti itu.

Kesakitan mereka hanya berlaku bagi diri mereka sendiri. Mereka ngegembel, berlaku menyimpang, tidak berpura-pura dan tidak hidup dalam kepalsuan. Orang gila tidak berbahaya.

Beda dengan manusia ibu kota, dengan penyakit dan kegilaan terselubung di tiap pribadi. Dengan cikal bakal opportunis dan keserakahan, tiap kekecewaaan berbuah dendam dan luka batin. Tiap tujuan menelurkan hidden agenda. Kita bahkan jadi serigala berbulu domba yang memasang telinga di mana-mana, untuk urusan yang bukan urusan kita.

Polisi moral sudah basi, mereka yang tidak pernah berbuat dosa, silahkan melempar batu pertama!

Kita semua, hanya orang gila yang berpura-pura normal dan jauh lebih berbahaya. Kita itu yang butuh alarm saat berkaca tiap pagi.

Sudah siap betul-betul jatuh gila atau mengakui kita gila?

BV, 22 Februari 2012